Memposisikan Buku Ajar Hasil Unduhan
Rencana Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengisi situs miliknya dengan buku elektronik yang dapat diunduh gratis, boleh jadi terinspirasi oleh perusahaan database search engine terkenal, Google. Pada Agustus 2006, dari markasnya di Mountain View, California, Amerika Serikat, Google mengumumkan layanan terbarunya berupa “google books search”, sebuah layanan pencarian buku yang siap unduh dalam format PDF.
Bedanya, bila Google menampilkan judul buku-buku yang dapat diunduh adalah yag tergolong klasik, artinya sudah menjadi public domain, seperti karya-karya dari Shakespeare, Isaac Newton dengan “Principia’nya, Dante dengan “Inferno”nya, yang kesemuanya merupakan buah kerja sama dengan banyak perpustakaan. Sedangkan Depdiknas memprioritaskan buku yang dapat diunduh adalah buku wajib pelajaran, lalu tahap demi tahap merambat ke buku lain yang turut mendukung pendidikan.
Terobosan yang akan dilakukan Depdiknas itu dimaksudkan untuk mengimbangi ketidakmampuan masyarakat membeli buku pelajaran sekolah. Sedangkan komputer dan jaringan telekomunikasi untuk internet bisa disiasati melalui warung internet, jadi hitungannya tetap lebih ekonomis. Hal ini dikatakan oleh Kepala Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Sugiyanto pada salah satu media cetak 05 Oktober 2006.
Terlepas dari pola hukum dan mekanisme penggunaan hak cipta yang sedang dipelajari oleh departemen ini, rencana tersebut sepertinya masih prematur bila dijalankan dalam waktu dekat ini. Mengingat untuk dapat menikmati program ini, pemerintah harus memenuhi sarana dan prasarana bagi sekolah dan lembaga pendidikan, terutama di daerah agar tidak terjadi siswa di kota-kota besar saja yang menikmati fasilitas ini . Bukan hanya itu, ketersediaan pasokan listrik juga perlu diprioritaskan. Kondisi ”Byar-pet!” yang sering terjadi di daerah bahkan di beberapa kota besar, merupakan kendala yang patut diperhitungkan.
Melegalkan yang ilegal
Setelah buku-buku tampil gratis di internet, otomatis jalur distribusi buku terputus. Akibatnya selain banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan, penerbit yang telah dibeli hak cipta buku miliknya, tidak akan mencetak buku tersebut dan memasarkannya. Dengan kata lain tidak akan ada versi cetak dari sebuah buku yang sudah dibeli hak ciptanya dan dapat diunduh gratis di internet. Hal ini berakibat ketiadaan buku tersebut di pasaran dan memaksa siswa untuk mengunduhnya melalui internet, itupun bagi siswa yang melek teknologi internet, bagi yang tidak mengenal internet akan menyeret orangtuanya yang juga belum tentu faham internet untuk mencari dan mengunduh buku yang dibutuhkan. Belum lagi biaya sewa di warung internet, biaya cetak buku per lembar, biaya jilid, lama waktu mengunduh yang juga dipengaruhi kondisi listrik masing-masing daerah. Akibat terburuknya adalah terjadi kekacauan dari ketidaksiapan siswa dalam memenuhi buku ajar yang sesuai kurikulum.
Kekacauan yang terjadi dapat menjadi lahan baru orang-orang yang memancing di air keruh. Seseorang tersebut akan mengunduh buku-buku yang diperlukan siswa, kemudian mencetaknya dengan fasilitas yang dimiliki atau dengan modal yang dikeluarkannya, kemudian dijilid lalu dijual ke siswa dengan harga sedikit lebih mahal bila siswa tersebut memperbanyak dengan cara fotokopi. Buku tersebut bahkan bisa saja dijual lebih mahal dari versi cetaknya jika ada, hal ini dimungkinkan karena ketiadaan buku ajar tersebut dalam versi cetak. Apakah tindakan memperbanyak dan menjual-belikan buku hasil unduhan tersebut melanggar UU Hak Cipta? Ingat! Buku itu dapat diunduh siapapun dengan gratis.
Pengalihan Anggaran
Kenaikan anggaran pendidikan pada RAPBN 2007 yang belum menyentuh angka 20%, patut disyukuri. Karena bila dibandingkan dengan anggaran 2006 yang sebesar Rp. 43,3 triliun, maka anggaran 2007 naik 18,5 persen atau sebesar Rp. 51,3 triliun. Jumlah ini belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan dan anggaran kedinasan. Artinya, jika mau, ada cukup dana yang bisa dialokasikan sebagai subsidi untuk buku-buku pelajaran, sehingga dampaknya lebih menguntungkan buat kebanyakan orang, hal ini lebih bijaksana daripada dimasukkan dalam pos ”program coba-coba”. Atau bila keinginan untuk menampilkan buku-buku yang dapat diunduh gratis melalui situs Depdiknas, merupakan perkembangan global dan wujud dari perpustakaan elektronik, maka sebaiknya mengambil contoh apa yang telah dilakukan Google. Isi situs dengan buku-buku cerita yang sudah menjadi milik publik, seperti ”Malin Kundang”, ”Tangkuban Perahu” dan banyak cerita rakyat lainnya yang dibukukan, juga referensi ilmu pengetahuan. Buku-buku ini tidak bersifat segera, artinya bisa diunduh kapan saja, tidak dibatasi waktu, seperti halnya buku pelajaran yang mesti sudah diunduh, dicetak, dijilid sebelum siswa duduk di kelas pada tahun ajaran baru atau semester baru. Jadi ukurlah dahulu kemampuan diri, sebelum mencontoh program orang lain, apalagi merasa lebih pintar dengan menambah beban dari efek yang akan timbul.
Bedanya, bila Google menampilkan judul buku-buku yang dapat diunduh adalah yag tergolong klasik, artinya sudah menjadi public domain, seperti karya-karya dari Shakespeare, Isaac Newton dengan “Principia’nya, Dante dengan “Inferno”nya, yang kesemuanya merupakan buah kerja sama dengan banyak perpustakaan. Sedangkan Depdiknas memprioritaskan buku yang dapat diunduh adalah buku wajib pelajaran, lalu tahap demi tahap merambat ke buku lain yang turut mendukung pendidikan.
Terobosan yang akan dilakukan Depdiknas itu dimaksudkan untuk mengimbangi ketidakmampuan masyarakat membeli buku pelajaran sekolah. Sedangkan komputer dan jaringan telekomunikasi untuk internet bisa disiasati melalui warung internet, jadi hitungannya tetap lebih ekonomis. Hal ini dikatakan oleh Kepala Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Sugiyanto pada salah satu media cetak 05 Oktober 2006.
Terlepas dari pola hukum dan mekanisme penggunaan hak cipta yang sedang dipelajari oleh departemen ini, rencana tersebut sepertinya masih prematur bila dijalankan dalam waktu dekat ini. Mengingat untuk dapat menikmati program ini, pemerintah harus memenuhi sarana dan prasarana bagi sekolah dan lembaga pendidikan, terutama di daerah agar tidak terjadi siswa di kota-kota besar saja yang menikmati fasilitas ini . Bukan hanya itu, ketersediaan pasokan listrik juga perlu diprioritaskan. Kondisi ”Byar-pet!” yang sering terjadi di daerah bahkan di beberapa kota besar, merupakan kendala yang patut diperhitungkan.
Melegalkan yang ilegal
Setelah buku-buku tampil gratis di internet, otomatis jalur distribusi buku terputus. Akibatnya selain banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan, penerbit yang telah dibeli hak cipta buku miliknya, tidak akan mencetak buku tersebut dan memasarkannya. Dengan kata lain tidak akan ada versi cetak dari sebuah buku yang sudah dibeli hak ciptanya dan dapat diunduh gratis di internet. Hal ini berakibat ketiadaan buku tersebut di pasaran dan memaksa siswa untuk mengunduhnya melalui internet, itupun bagi siswa yang melek teknologi internet, bagi yang tidak mengenal internet akan menyeret orangtuanya yang juga belum tentu faham internet untuk mencari dan mengunduh buku yang dibutuhkan. Belum lagi biaya sewa di warung internet, biaya cetak buku per lembar, biaya jilid, lama waktu mengunduh yang juga dipengaruhi kondisi listrik masing-masing daerah. Akibat terburuknya adalah terjadi kekacauan dari ketidaksiapan siswa dalam memenuhi buku ajar yang sesuai kurikulum.
Kekacauan yang terjadi dapat menjadi lahan baru orang-orang yang memancing di air keruh. Seseorang tersebut akan mengunduh buku-buku yang diperlukan siswa, kemudian mencetaknya dengan fasilitas yang dimiliki atau dengan modal yang dikeluarkannya, kemudian dijilid lalu dijual ke siswa dengan harga sedikit lebih mahal bila siswa tersebut memperbanyak dengan cara fotokopi. Buku tersebut bahkan bisa saja dijual lebih mahal dari versi cetaknya jika ada, hal ini dimungkinkan karena ketiadaan buku ajar tersebut dalam versi cetak. Apakah tindakan memperbanyak dan menjual-belikan buku hasil unduhan tersebut melanggar UU Hak Cipta? Ingat! Buku itu dapat diunduh siapapun dengan gratis.
Pengalihan Anggaran
Kenaikan anggaran pendidikan pada RAPBN 2007 yang belum menyentuh angka 20%, patut disyukuri. Karena bila dibandingkan dengan anggaran 2006 yang sebesar Rp. 43,3 triliun, maka anggaran 2007 naik 18,5 persen atau sebesar Rp. 51,3 triliun. Jumlah ini belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan dan anggaran kedinasan. Artinya, jika mau, ada cukup dana yang bisa dialokasikan sebagai subsidi untuk buku-buku pelajaran, sehingga dampaknya lebih menguntungkan buat kebanyakan orang, hal ini lebih bijaksana daripada dimasukkan dalam pos ”program coba-coba”. Atau bila keinginan untuk menampilkan buku-buku yang dapat diunduh gratis melalui situs Depdiknas, merupakan perkembangan global dan wujud dari perpustakaan elektronik, maka sebaiknya mengambil contoh apa yang telah dilakukan Google. Isi situs dengan buku-buku cerita yang sudah menjadi milik publik, seperti ”Malin Kundang”, ”Tangkuban Perahu” dan banyak cerita rakyat lainnya yang dibukukan, juga referensi ilmu pengetahuan. Buku-buku ini tidak bersifat segera, artinya bisa diunduh kapan saja, tidak dibatasi waktu, seperti halnya buku pelajaran yang mesti sudah diunduh, dicetak, dijilid sebelum siswa duduk di kelas pada tahun ajaran baru atau semester baru. Jadi ukurlah dahulu kemampuan diri, sebelum mencontoh program orang lain, apalagi merasa lebih pintar dengan menambah beban dari efek yang akan timbul.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home