Adakah Tuhan itu?
Membaca tentang Filsafat komunikasi, dijelaskan tentang beberapa tipe cara berpikir manusia, ada yg mitis (terkait dengan mitos), filosofis (terkait dengan filsafat), ilmiah (terkait dengan ilmu pengetahuan), religius (terkait dengan agama).
Filsafat itu bersifat kritis dan selalu mencari jawaban. sebagai contoh, Idul Adha kemarin dirayakan untuk mengingat pada saat Abraham mengorbankan Ismail (versi Islam) atau Ishak (versi Kristen).
Pertanyaan :
mengapa Abraham mau mengorbankan Ismail/Ishak ?
Jawaban menurut cara berpikir religius:
karena Tuhan mau melihat seberapa dalam iman Abraham
Cara berpikir filsafat bertanya :
bukankah Tuhan itu Maha Tahu ? kalau Dia Maha Tahu, pastilah Dia tahu seberapa dalam iman Abraham. mengapa Dia masih ingin menguji Abraham sementara Dia sudah tahu jawabannya ?
Atau seperti ini :
kalau Tuhan sudah tahu bahwa manusia ciptaannya itu akan masuk neraka, mengapa ia harus dilahirkan ke dunia ? kenapa Tuhan ngga langsung masukkan dia ke neraka saja ?
kalau Tuhan itu baik, pastinya Dia ingin melihat dunia ini damai dan semua orang bahagia, tapi kenapa Dia juga menciptakan orang jahat untuk merusak kehidupan orang lain ?
Pertanyaan lain :
kalau dunia ini akan kiamat dan semuanya berakhir, kenapa Tuhan menciptakan dunia ini ? bukankah Dia tahu bahwa Dia akan memusnahkan semuanya ? kenapa Dia mau memusnahkan semua yang telah Ia ciptakan dengan begitu baik dan indahnya ?
Akal Manusia
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia ini menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Salah satu keterbatasan manusia itu adalah kemampuan akalnya. Setiap manusia yang masih bersih fitrahnya akan mengakui hal ini. Akal manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat sesuatu secara sempurna, terlebih bila hakikat itu meliputi berbagai permasalahan. Fungsi akal manusia yang paling besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran. Apa kebenaran sejati itu? Sekali lagi, bagi orang yang fitrahnya masih suci, akan mengakui bahwa kalau hanya dengan akalnya, seorang manusia tidak akan mencapai kebenaran sejati. Banyak hal permasalahan yang jelas tidak akan mampu diselesaikan dengan keterbatasan akal.
Sesuatu yang dapat diterima akal dan diyakini penuhpun dapat berubah menjadi jauh dari kebenaran di waktu selanjutnya, seperti diyakininya pernyataan ilmuwan bahwa bumi sebagai pusat tatasurya, dan benda-benda angkasa berotasi mengelilingi bumi, hal ini berjalan hingga puluhan tahun, sampai Nicolai Copernicus melemparkan gagasan pemikiran bahwa Matahari adalah pusat tatasurya, bukan bumi. Gagasan ini bukan saja ditentang, tapi dianggap pemikiran sesat. Namun seiring kemajuan teknologi, pernyataan Nicolai tersebut terbukti benar.
Memahami kebenaran mutlak yang disampaikan Tuhan melalui kitabNya dengan menggunakan sains (ilmu pengetahuan) yang bersifat relative, diperlukan sangat kehati-hatian. Sehingga bagi kaum berakal yang menyadari keterbatasan akalnya, akan menyadari bahwa hasil penelitian atau penemuannya saat ini yang dianggap benar, dapat menjadi usang dan tidak berlaku lagi suatu saat nanti.
Namun tidak demikian dengan orang-orang yang terlalu “percaya diri” dengan kemampuan akalnya. Orang-orang dengan kecerdasan tinggi ini meyakini pemikirannya sebagai suatu yang kekal. Mereka menciptakan ideologi-ideologi yang berdasar akal semata, seperti komunisme yang meniadakan Tuhan, kapitalisme yang “menyepelekan” Tuhan (ada atau tidaknya Tuhan, tak berarti apa-apa), rasionalisme modern yang hendak menguasai alam dan sekaligus menghancurkannya.
Kaum ini meyakini bahwa baik buruk yang mereka dapat adalah dari apa yang mereka kerjakan, tanpa adanya kuasa Tuhan. Meski demikian, orang-orang ini dapat berbuat kebaikan. Mereka melakukan semua amal kebaikannya tentu bukan karena motivasi keimanan, melainkan motivasi kemanusiaan semata. Mereka melakukan kebaikan itu semata karena dia percaya hal itu baik bagi kemanusiaan. Orang agnotis merasa tidak perlu motivasi iman karena dia juga tak butuh pahala. Maka dia melakukan semua itu tanpa emosi apa pun. Memberi ya memberi saja. Titik. Give and forget. Lain halnya dengan kaum yang mengaku punya iman.
Kaum beriman melakukan kebaikan demi mencapai rida Tuhan maka tidak bisa tidak emosinya akan terlibat. Jadi wajar kalau orang dewasa bahagia setelah melakukan amal kebaikan. Dengan keyakinan bahwa amal kebaikan menjadi sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka membayangkan nikmatnya bila suatu saat merasa dekat dengan Yang Maha Baik itu. Mereka percaya bahwa orang-orang yang mereka bantu mewakili Tuhan untuk menerima amal kebaikannya. Jadi kebaikan itu diniatkan demi Tuhan, tapi manfaatnya untuk manusia.
Tuhan di Mata Para Ilmuwan
Para ilmuwan dianggap memiliki Tuhan yang berbeda dari kaum teolog. Seperti apakah Tuhan mereka?
Semakin para ilmuwan mendalami bidang ilmunya, semakin ia menemukan nuansa spiritual di dalamnya. Dan karenanya, semakin tinggi keyakinan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Ungkapan semacam ini sering dilontarkan para ilmuwan yang berubah menjadi pendakwah agama. Dr. Imaduddin Abdul Rahim (fisika) dan Dr Dadang Hawari (kedokteran) adalah contohnya.
Dalam beberapa kesempatan ceramahnya di televisi, Bang Imad, panggilan Dr Imaduddin, memberikan contoh banyaknya ilmuwan yang kembali ke spiritualitas. Salah satu contoh favoritnya adalah Albert Einstein, yang menurut dia tetap mempertahankan agama kendati sibuk memecahkan persoalan-persoalan ilmiah.
Begitu juga Dadang Hawari yang sering menyebut nama Dr Maurice Bucaile, ilmuwan asal Perancis yang tertarik terhadap Islam karena mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama. Benarkah para ilmuwan berkecenderungan demikian? Jika Kita buka literatur fisika, pasti Kita akan kecewa. Karena, terlalu banyak tokoh-tokoh ilmuwan yang ternyata ateis, atau paling kurang agnostis terhadap persoalan-persoalan metafisika.
Sebutlah Steven Weinberg, Carl Sagan, Roger Penros, Richard Feynman, dan Stephen Hawking. Tokoh-tokoh ini adalah fisikawan sejati yang banyak menelurkan karya dan teori ilmiah. Simaklah apa kata mereka tentang Tuhan!
"Betapa alam raya berjalan penuh dengan keteraturan berdasarkan hukum-hukumnya, sehingga ia tak perlu lagi sang pengatur," tulis Carl Sagan dalam Cosmos, karya monumentalnya. "Semakin kosmologi" menyingkap alam raya ini, semakin tampak bagi kita betapa tak bertujuannya jagat raya ini," ungkap Steven Weinberg, peraih hadiah Nobel dalam bidang fisika pada 1979.
Begitulah, bagi para ilmuwan itu, teori ledakan besar (big bang), teori yang paling dekat kaitannya dengan penciptaan, hampir tak menyisakan ruang buat Tuhan untuk berkarya. "Semuanya berjalan menurut hukum fisika yang rumit dan sempurna," tulis seorang fisikawan.
Jalan Pikiran Tuhan
Benarkah para ilmuwan seradikal itu dalam memandang Tuhan? Jawabannya, mungkin ya mungkin tidak. Jika Anda percaya pada sebuah penelitian di AS tahun lalu, hanya 40 persen ilmuwan di negeri Paman Sam itu yang percaya adanya Tuhan. Sisanya adalah para ilmuwan yang ateis dan agnostik (Newsweek, 27/7).
Tapi jika melihat sebuah konferensi tentang agama dan ilmu pengetahuan yang digelar di AS bulan lalu, para ilmuwan adalah manusia-manusia "beriman" dan, dalam beberapa hal, percaya dengan kebenaran agama. "Jika Anda menyadari bahwa hukum alam telah melahirkan jagat raya yang begitu teratur, maka hal itu pastilah tidak terjadi semata-mata karena kebetulan. Tapi mesti ada tujuan di balik itu semua," kata John Polkinghorne, ahli fisika yang kini menjadi pendakwah Gereja Anglikan.
Pendapat senada juga diungkapkan Charles Townes, peraih Nobel pada 1964 yang juga hadir dalam konferensi tersebut, "Banyak orang merasakan bahwa pastilah ada sesuatu yang mahapintar di balik kehebatan hukum alam."
Sekitar 300 ilmuwan yang hadir dalam konferensi tersebut memang tidak semuanya percaya kepada Tuhan. Namun, mereka memiliki konsepsi tersendiri tentang Tuhan. John Barrow, misalnya, menganggap adanya ruang buat spiritualitas dalam setiap kajian keilmiahan. Padahal, fisikawan Inggris yang dianggap terbesar setelah Stephen Hawking itu selama ini dikenal kurang peduli terhadap agama.
Para ilmuwan memang memiliki konsepsi tersendiri tentang Tuhan. Tuhan mereka, seperti dikatakan banyak pengamat agama, tidaklah terpersonalisasi seperti yang diajarkan para teolog. Karenanya Dr Karlina Leksono, astronom Indonesia yang kini mengajar filsafat di UI, keberatan kalau orang seperti Stephen Hawking dikategorikan sebagai ilmuwan yang ateis. "Dia bukan ateis, tapi sedikit agnostik," katanya dalam suatu kesempatan pada sebuah majalah.
Sifat agnostik Hawking diperlihatkan dalam tulisan-tulisannya yang agak keras mengkritik Tuhan para teolog. Kendati demikian, ia meyakini keberadaan Tuhan, dan mempercayai bahwa dengan kosmologi yang dibangunnya, suatu saat, ia bisa melihat jalan pikiran Tuhan (the mind of God).
Persoalannya barangkali, mampukah ilmu pengetahuan itu menyingkap Tuhan? Para ilmuwan yang beriman meyakini bahwa ilmu pengetahuan, kendati tak secara langsung membawa para ilmuwan ke hadapan Tuhan, bisa menggiring mereka ke arah itu. "Kendati sains tak dapat membuktikan eksistensi Tuhan, ia dapat membisikkan kepada ilmuwan di mana jejak-jejak Tuhan itu bisa dicari," ujar seorang ilmuwan.
Para ilmuwan "ateis" sendiri tak terlalu memperdulikan apakah Tuhan itu ada atau tidak, dan apakah ilmu pengetahuan bisa atau tidak mengungkapnya. Namun, mereka sepakat dengan kaum beriman bahwa tujuan agama dan sains kedua-duanya sama, yakni mencari kebenaran sejati di dunia ini.
Apa Tuhan itu ada?
Mengenai akal pikiran yang berlandaskan sains dan akal pikiran berlandaskan keyakinan dapat kita simak dari ilustrasi di bawah ini:
Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri paman Sam kembali ke tanah air. Sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru agama, kiai atau siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya Orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut.
Pemuda: Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Kyai: Saya hamba Tuhan dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda
Pemuda: Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Kyai: Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya
Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan
1)Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya!
2)Apakah yang dinamakan takdir?
3)Kalau syetan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syetan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba Kyai tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.
Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?
Kyai: Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya
Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti
Kyai: Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit
Kyai: Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
Pemuda: Ya
Kyai: Tunjukan pada saya wujud sakit itu !
Pemuda: Saya tidak bisa
Kyai: Itulah jawaban pertanyaan pertama: kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
Kyai: Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda: Tidak
Kyai: Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
Pemuda: Tidak
Kyai: Itulah yang dinamakan Takdir
Kyai: Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
Pemuda: kulit
Kyai: Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda: kulit
Kyai: Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: sakit
Kyai: Walaupun Syeitan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, Jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan Menjadi tempat menyakitkan untuk syeitan.
Kesimpulan
Dari ilustrasi dan beberapa pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai manusia yang diciptakan Tuhan dengan beberapa kelebihan dibandingkan dengan mahluk lainnya, sekaligus kekurangannya. Sehingga dalam mencari hakikat kebenaran sejati diperlukan kehati-hatian yang sangat, agar tidak terjerumus ke dalam kegelapan yang sementara dirasakan sebagai terang benderang.
Kebenaran tidak selalu dapat ditunjukkan secara visual, mengingat kemampuan pandang manusia yang juga terbatas.
Saran
Keberadaan Tuhan tidak perlu lagi diperbincangkan, hal mana semuanya telah jelas bagi kaum yang berfikir. Bila dijadikan sarana untuk mencari kebenaran, perlu diingat untuk menyadari keterbatasan akal manusia dan perlu dicari banyak referensi sebagai rujukan serta pembimbing yang bijak.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home