Aku Ingin Kelak Sehebat Anak-anakku
Cafe de Daun, Kebun Raya Bogor.
Rasa lelah dan perut keroncongan cukup membatasi gerak kami; Aku dan istriku bermaksud melepasnya dengan memesan makan minum dan beristirahat, namun tidak demikian dengan kedua anakku. Meski mereka bersedia masuk ke sebuah ruang yang hanya dibatasi pagar rendah dari kayu, tempat orang-orang makan, tapi tidak cukup patuh untuk mereka duduk diam.
Dalam usahaku meredam marah, kucoba untuk menenangkan istriku dan mengajaknya merenung. Salahkah kami dalam mendidik? Benarkah anak-anak harus patuh total, layaknya orangtua kami mendidik dengan disiplin paksaan? Atau adakah yang tidak kami ketahui, mungkin terlewatkan saat masa kanak-kanak dahulu?
Tanpa bisa dicegah, pikiranku mencoba menyusup alam pikiran kedua anakku. Namun kayu pengukur yang kupergunakan tidak menghasilkan apa-apa, malah mendatangkan hasutan bahwa mereka anak-anak yang tidak tahu diri, tidak tahu diuntung. Buntutnya, akupun meledak. Kuteriaki kedua anakku untuk duduk diam, lalu memerintah mereka segera makan makanan yang baru saja diantarkan pramusaji. Meski akhirnya mereka patuh, tapi aku tahu mereka tidak menyukainya, hal ini terlihat jelas dari mendung di wajah yang tersirat ketakutan.
Mengapa saya tidak bahagia? Padahal mereka sudah patuhi semua yang kami perintahkan? Ah.. nak.! Muram kalian justru melukai hati ayah. Lantas kuperhatikan anak keduaku saat ia sedang disuapi ibunya, saat itupula timbul sesal yang kurasakan memaksa untuk merenung;
Nak, entah sudah berapa kali lapangan rumput luas di Kebun Raya Bogor ini kamu kitari, padahal berbilang jam sudah kamu jalani. Lelah sepertinya takut mendekati, atau di dekatmu, namun tak kau temani. Sementara Ayah hanya mengamati dan terbawa arus letih tak berperi, padahal 3 tahun umurmu belum kau genapi. Bahkan kakakmupun turut lagi.
”Maafkan Ayah ya.. tadi Ayah marah”
”Soalnya kalian tidak menurut sama Ayah dan Ibu sih.!” kataku membela diri.
Kalian hanya mengangguk sedih. Dan aku coba membujuk mereka dengan iming-iming akan sering mengajak jalan-jalan jika mereka patuh dan mudah diatur, istrikupun mengiyakan. Tapi, Benar! Mereka hanya diam. Anak-anakku tahu bahwa orangtuanya jarang memarahi mereka, sehingga mereka akan sangat merasa bersalah jika sampai Aku marah.
”Ayah, maafin Fira ya.!” rajuk anak pertamaku tiba-tiba memecah kesunyian.
”Fabu gak salah, Ayah ! soalnya Fira yang ngajakin Fabu main terus”. Ucap anakku membela adiknya dengan mengabaikan bahwa ayahnya mengetahui bahwa justru dialah terbawa suasana adiknya.
”Ya sudah” jawabku.
”Kamu sebagai kakak dari adikmu, seharusnya bisa memberi contoh untuk tidak main terus menerus” nasihatku. ”Lagipula memang kalian tidak capek? Dan tidak lapar?” lanjutku. Tapi dijawab dengan gelengan kepala yang hampir saja membuatku marah kembali.
”Habis.. Rasanya enak sih Yah!” lanjut anakku singkat.
Rasanya? Jadi tidak ada yang dipikirkan mereka saat tadi bermain. Pantas saja! Rupanya itu yang terlewatkan oleh kami, dan mungkin juga orangtua-orangtua lain. Tidak dipikirkan jika terus bermain akan menguras tenaga, tidak berpikir bahwa bergulingan di rumput akan membuat pakaian mereka kotor, bahkan mungkin terluka bila ada benda keras yang terbentur tubuhnya. Kalaupun ada yang sempat mereka pikirkan, mungkin hanya tentang hari ini, bahwa hari ini indah, hari ini kami bahagia bisa bebas bermain, bisa bergulingan di rumput, bisa berlari-lari.
Rasa itu coba aku hilangkan dengan pikiran. Apa sih istimewanya? Ini hanya rumput, mereka hanya berlari, bergulingan, sesekali saling bergumul. Tidak ada yang mereka dapatkan untuk bisa dibawa pulang, tidak hadiah, tidak makanan, tidak pula uang, tapi mereka bahagia.
”Begini saja” kataku.
”Kita habiskan makan dan minum, lalu istirahat sebentar, setelah itu kalian boleh main lagi”
Ucapan ini langsung membuat gerhana di wajah mereka pupus, bersinar kembali.
”Tapi ada syaratnya.!”
”Kalian harus mengajak Ayah juga” lanjutku tanpa menunggu pertanyaan dari anak-anakku tentang apa syarat yang akan diajukan.
”Iya.! Iya boleh Yah.! Jawab anak pertamaku bersemangat.
”Iya Yah.. nanti Ayah yang jadi macan” kata anakku yang kedua setelah diam terus, meski dalam keseharian dia jauh lebih banyak bicara dibanding sang kakak.
”Ah.. Ayah gak mau jadi macan, Ayah maunya jadi jagoannya” candaku.
”Maksud Fabu (dari kata Fathur).. Ayah yang jadi macannya Pawel lenjes (Power Rangers)” Jawab si adik.
”Iya Ayah.. biar macan juga, tapi macan robot” timpal si kakak.
”Oke deh..” jawabku.
”Sekarang habiskan dulu makan kalian” kataku yang sebetulnya sudah tidak perlu, karena sesungguhnya mereka sudah bersemangat sejak tadi menghabiskan makannya.
Sedangkan Ayah mendapatkan satu lagi ilmu yang diturunkan melalui kalian oleh Pencipta sekaligus Penguasa Alam. Yah.. memang benar..! begitu Ayah merasai, dapat kunikmati keindahan segala apa yang ada di sekitar, bahkan sesuatu yang indah meski tak dapat diperlihatkan bendanya... Kebahagiaan.
Jadi mulai saat ini juga, Ayah akan menikmati segala apa yang ada hari ini, bersendirian, bersama kalian juga ibu. Keceriaan seperti ini sungguh dambaan meski baru sekarang mata ini terbuka.
Nak, mungkin kasihku padamu sebatas mensyukuri apa yang Tuhan beri atasmu. Tapi cukupkah itu? Yang kudengar Tuhan Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Kaya. Ilmu yang dicurahkanNya tiada henti. Tak Ayah sangka itupun ada padamu, yang kau ajarkan dengan prilakumu.
Nak, maafkan kebodohan Ayah..
Ajarkanlah Ayah tentang dunia, tentang manusia, tentang nurani......
Ayah akan meminta banyak rejeki dan kesehatan dari Tuhan untuk kalian.
Dalam usahaku meredam marah, kucoba untuk menenangkan istriku dan mengajaknya merenung. Salahkah kami dalam mendidik? Benarkah anak-anak harus patuh total, layaknya orangtua kami mendidik dengan disiplin paksaan? Atau adakah yang tidak kami ketahui, mungkin terlewatkan saat masa kanak-kanak dahulu?
Tanpa bisa dicegah, pikiranku mencoba menyusup alam pikiran kedua anakku. Namun kayu pengukur yang kupergunakan tidak menghasilkan apa-apa, malah mendatangkan hasutan bahwa mereka anak-anak yang tidak tahu diri, tidak tahu diuntung. Buntutnya, akupun meledak. Kuteriaki kedua anakku untuk duduk diam, lalu memerintah mereka segera makan makanan yang baru saja diantarkan pramusaji. Meski akhirnya mereka patuh, tapi aku tahu mereka tidak menyukainya, hal ini terlihat jelas dari mendung di wajah yang tersirat ketakutan.
Mengapa saya tidak bahagia? Padahal mereka sudah patuhi semua yang kami perintahkan? Ah.. nak.! Muram kalian justru melukai hati ayah. Lantas kuperhatikan anak keduaku saat ia sedang disuapi ibunya, saat itupula timbul sesal yang kurasakan memaksa untuk merenung;
Nak, entah sudah berapa kali lapangan rumput luas di Kebun Raya Bogor ini kamu kitari, padahal berbilang jam sudah kamu jalani. Lelah sepertinya takut mendekati, atau di dekatmu, namun tak kau temani. Sementara Ayah hanya mengamati dan terbawa arus letih tak berperi, padahal 3 tahun umurmu belum kau genapi. Bahkan kakakmupun turut lagi.
”Maafkan Ayah ya.. tadi Ayah marah”
”Soalnya kalian tidak menurut sama Ayah dan Ibu sih.!” kataku membela diri.
Kalian hanya mengangguk sedih. Dan aku coba membujuk mereka dengan iming-iming akan sering mengajak jalan-jalan jika mereka patuh dan mudah diatur, istrikupun mengiyakan. Tapi, Benar! Mereka hanya diam. Anak-anakku tahu bahwa orangtuanya jarang memarahi mereka, sehingga mereka akan sangat merasa bersalah jika sampai Aku marah.
”Ayah, maafin Fira ya.!” rajuk anak pertamaku tiba-tiba memecah kesunyian.
”Fabu gak salah, Ayah ! soalnya Fira yang ngajakin Fabu main terus”. Ucap anakku membela adiknya dengan mengabaikan bahwa ayahnya mengetahui bahwa justru dialah terbawa suasana adiknya.
”Ya sudah” jawabku.
”Kamu sebagai kakak dari adikmu, seharusnya bisa memberi contoh untuk tidak main terus menerus” nasihatku. ”Lagipula memang kalian tidak capek? Dan tidak lapar?” lanjutku. Tapi dijawab dengan gelengan kepala yang hampir saja membuatku marah kembali.
”Habis.. Rasanya enak sih Yah!” lanjut anakku singkat.
Rasanya? Jadi tidak ada yang dipikirkan mereka saat tadi bermain. Pantas saja! Rupanya itu yang terlewatkan oleh kami, dan mungkin juga orangtua-orangtua lain. Tidak dipikirkan jika terus bermain akan menguras tenaga, tidak berpikir bahwa bergulingan di rumput akan membuat pakaian mereka kotor, bahkan mungkin terluka bila ada benda keras yang terbentur tubuhnya. Kalaupun ada yang sempat mereka pikirkan, mungkin hanya tentang hari ini, bahwa hari ini indah, hari ini kami bahagia bisa bebas bermain, bisa bergulingan di rumput, bisa berlari-lari.
Rasa itu coba aku hilangkan dengan pikiran. Apa sih istimewanya? Ini hanya rumput, mereka hanya berlari, bergulingan, sesekali saling bergumul. Tidak ada yang mereka dapatkan untuk bisa dibawa pulang, tidak hadiah, tidak makanan, tidak pula uang, tapi mereka bahagia.
”Begini saja” kataku.
”Kita habiskan makan dan minum, lalu istirahat sebentar, setelah itu kalian boleh main lagi”
Ucapan ini langsung membuat gerhana di wajah mereka pupus, bersinar kembali.
”Tapi ada syaratnya.!”
”Kalian harus mengajak Ayah juga” lanjutku tanpa menunggu pertanyaan dari anak-anakku tentang apa syarat yang akan diajukan.
”Iya.! Iya boleh Yah.! Jawab anak pertamaku bersemangat.
”Iya Yah.. nanti Ayah yang jadi macan” kata anakku yang kedua setelah diam terus, meski dalam keseharian dia jauh lebih banyak bicara dibanding sang kakak.
”Ah.. Ayah gak mau jadi macan, Ayah maunya jadi jagoannya” candaku.
”Maksud Fabu (dari kata Fathur).. Ayah yang jadi macannya Pawel lenjes (Power Rangers)” Jawab si adik.
”Iya Ayah.. biar macan juga, tapi macan robot” timpal si kakak.
”Oke deh..” jawabku.
”Sekarang habiskan dulu makan kalian” kataku yang sebetulnya sudah tidak perlu, karena sesungguhnya mereka sudah bersemangat sejak tadi menghabiskan makannya.
Sedangkan Ayah mendapatkan satu lagi ilmu yang diturunkan melalui kalian oleh Pencipta sekaligus Penguasa Alam. Yah.. memang benar..! begitu Ayah merasai, dapat kunikmati keindahan segala apa yang ada di sekitar, bahkan sesuatu yang indah meski tak dapat diperlihatkan bendanya... Kebahagiaan.
Jadi mulai saat ini juga, Ayah akan menikmati segala apa yang ada hari ini, bersendirian, bersama kalian juga ibu. Keceriaan seperti ini sungguh dambaan meski baru sekarang mata ini terbuka.
Nak, mungkin kasihku padamu sebatas mensyukuri apa yang Tuhan beri atasmu. Tapi cukupkah itu? Yang kudengar Tuhan Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Kaya. Ilmu yang dicurahkanNya tiada henti. Tak Ayah sangka itupun ada padamu, yang kau ajarkan dengan prilakumu.
Nak, maafkan kebodohan Ayah..
Ajarkanlah Ayah tentang dunia, tentang manusia, tentang nurani......
Ayah akan meminta banyak rejeki dan kesehatan dari Tuhan untuk kalian.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home