<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7081155753074525083\x26blogName\x3dArtikel+Tanah+Air+-+ku\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-bangsa.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-bangsa.blogspot.com/\x26vt\x3d-1739247575418278458', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

04 January 2010


Membongkar Gurita Cikeas

Buku "Membongkar Gurita Cikeas" sekarang ini semakin heboh dan menjadi buku yang paling dicari di Indonesia. Bukan karena buku ini menggemakan judul yang antik dan membongkar rahasia, tetapi ibarat gadis perawan yang cantik dan menjadi kembang desa, lalu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Tentu saja "para pria" menjadi semakin menggilai dan merindukannya untuk mendapatkan gadis itu kembali.

Awalnya saya sempat menduga hilangnya buku ini dari peredaran hanyalah sebuah strategi marketing, dan ternyata.... Betul.!!(setidaknya menurut saya pribadi). Saya sudah membaca buku ini dalam bentuk pdf. ( klik disini untuk download: Membongkar Gurita Cikeas ). Ternyata tidak seheboh yang digembar-gemborkan. Data yang disajikan tidak sedahsyat yang dibayangkan, bahkan kekhawatiran atas presiden SBY benar terlibat dalam skandal korupsi juga tidak mendapatkan pembahasan yang mendalam.

Kasus Bank Century bahkan sekedar menjadi bayang-bayang yang remang-remang saja. Malah buku "membongkar gurita cikeas" lebih banyak menyoroti Yayasan-yayasan yang didirikan SBY, yang dicurigai mendapatkan dana gelap dari para koruptor tersebut.

Lanjutan..!

28 April 2008


Agar UN Jadi Dambaan

Tindakan pembocoran atau kecurangan dalam pelaksanaan UN (ujian nasional) sebetulnya sudah dapat dipastikan dan tidak lagi menjadi sebuah prediksi. Sehingga kasus yang terjadi (Rabu, 23/4/2008) di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, bukanlah berita mengejutkan. Kalaupun berita tersebut menjadi heboh, hal ini lebih ditekankan pada keterkaitan anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisisan Daerah Sumatera Utara yang melakukan penggerebekan dengan membuka paksa sebuah ruangan dan memergoki para guru yang membetulkan lembar jawaban siswa peserta UN. Sehingga memicu komentar dari dunia pendidikan, bahwa tindakan tersebut terlalu berlebihan, mengingat sudah ada tim pengawas independen. Sebetulnya kecurangan tersebut banyak terjadi di berbagai wilayah, hanya saja berupa letupan kecil, sehingga sinarnya tidak cukup menyilaukan seperti ledakan kasus yang terjadi di SMAN 2 Lubuk Pakam ini.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan berpegang pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek lain, pemerintah menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa. Artinya siswa setanah-air wajib mengikuti UN yang dibuat dengan standard kompetensi yang diciptakan sendiri oleh pemerintah. Para penguasa tersebut merasa yakin, karena kurikulum yang dibuat untuk seluruh sekolah adalah sama. Namun, apakah tepat jika tingkat kesulitan pengerjaan soal dibuat sama, sedangkan sarana dan prasarana tiap-tiap sekolah dalam satu daerah saja bisa jauh berbeda? Apalagi jika membandingkan sekolah elit di Jakarta dengan sekolah yang nun jauh di sana.

Meski rata-rata sekolah di Jakarta sudah cukup baik, faktor pendukung lain juga turut menentukan tingkat keberhasilan pendidikan di sekolah. Di Jakarta sendiri, tidak semua sekolah memiliki laboratorium komputer dan internet, lab fisika, lab kimia; belum lagi bimbingan belajar di luar sekolah yang hanya terdapat di kota-kota besar. Tingkat pendidikan para pengajar di tiap sekolah juga berbeda, ada yang sarjana, master bahkan diploma, yang juga berpengaruh pada cara mereka mengajar. Bagaimana nasib siswa yang bersekolah di suatu wilayah yang serba kekurangan aspek pendukung tersebut? Atau meskipun ada, apakah orangtuanya tergolong mampu mengeluarkan biaya tambahan untuk anaknya mengikuti les di luar sekolah? Tak perlulah kiranya saya ceritakan perihal siswa yang harus menempuh beberapa kilometer dengan berjalan kaki.

Dengan memberikan keadilan yang merata, justru akan tercipta ketidak-adilan. Tidak ada satupun perusahaan yang menggaji karyawan dengan jumlah yang sama. Semua dibedakan berdasarkan tanggung jawab dan wewenangnya. Jadi dapat dikatakan, keputusan pemerintah untuk memaksakan UN sebagai syarat kelulusan adalah sebuah ketidak-adilan. Mengapa? Karena mengharapkan bayi-bayi sehat dengan memberikan gizi yang berbeda (bahkan beberapa bayi dibiarkan terlantar).

Menetapkan bantuan
Untuk meningkatkan hardskill atau softskill, banyak perusahaan memberikan pendidikan pada karyawannya dengan training, pelatihan atau seminar yang diadakan lembaga-lembaga khusus dengan maksud menciptakan personal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal ini menguntungkan karyawan, selain keterampilannya meningkat, kejiwaan merekapun menjadi lebih baik karena diperhatikan perusahaan. Performa kerja mereka menjadi lebih baik lagi, dan ujungnya dapat meningkatkan profit perusahaan. Namun pemberian training tersebut tidak hanya didasarkan pada kesukaan terhadap karyawan tertentu atau sekedar dijadikan selingan.

Pemberian training dapat dilakukan dengan melihat pada job description dan competencies pada masing-masing seksi atau bagian sampai departemen. Dengan hasil kompetensi tersebut, maka dapat ditentukan siapa saja yang berhak diberikan pelatihan sesuai dengan porsi pekerjaan untuk meningkatkan keterampilannya.

Agar UN jadi dambaan
Agar lebih tepat sasaran, UN tidak perlu dihapuskan, namun fungsinya digeser, tidak sebagai penentu kelulusan siswa, namun menjadi barometer kompetensi sekolah di tiap-tiap daerah. Sehingga setelah dilakukan UN, pemerintah dapat mengevaluasi daerah mana saja yang perlu segera diberikan bantuan untuk meningkatkan kompetensi pendidikannya. Dengan begitu, dapat diketahui di daerah X misalnya, perlu diberikan bantuan buku-buku atau jika boleh bermuluk-ria, dibuatkan laboratorium seperti lab fisika, kimia, komputer bahkan mungkin keringanan biaya sekolah bagi siswa kurang mampu. Kalau tidak boleh bermimpi, setidaknya tidak ada lagi atap sekolah yang bocor atau kondisi lain yang memaksa siswa harus belajar di luar sekolah.

Jika hal ini dilakukan, maka kemungkinan kecurangan untuk mendapat nilai bagus akan nol, karena jika mereka memaksakan demi nilai bagus, maka hasil kompetensi akan tinggi, dan mereka tidak patut mendapat bantuan (hal ini tentu bertentangan dengan usaha mereka yang terus-menerus memohon bantuan ke pusat).

Hingga suatu saat kelak, dimana nilai kompetensi seluruh daerah nyaris sama, maka pemerintah dapat menetapkan UN sebagai syarat kelulusan siswa. Untuk saat ini, cukuplah masing-masing daerah membuat sendiri standard kelulusan siswanya. Pemerintah cukup mengawasi dan menyebarkan informasi hasil evaluasi kompetensi dari masing-masing daerah. Sehingga saat perusahaan bermaksud menerima siswa lulusan suatu daerah untuk bekerja sebagai karyawannya, mereka dapat mengukur bahwa nilai 6 di daerah X (daerah dengan kompetensi rendah) sama dengan nilai 9 di Jakarta (mungkin daerah dengan kompetensi tertinggi).

Lanjutan..!

31 March 2008


KITA BANGSA YANG PERMISIF PADA KORUPSI?

(Tanggapan atas tulisan Kompas, Sabtu, 22 Maret 2008 pada kolom “Pemberantasan Korupsi”)

Dunia orang lain diwarnai dengan nilai, sikap dan kepercayaannya sendiri, bukan milik saya atau milik kita. Sehingga saat kita mencoba masuk dalam kehidupannya dengan menghakimi nilai, sikap atau kepercayaannya tersebut, maka kecenderungan yang kita terima adalah penolakan untuk berubah, dan biasanya mereka justru menjadi semakin kental dengan pendapat dan perilakunya sendiri. Ini dapat kita lihat saat kita memberikan kritikan, baik dengan lisan, tulisan atau show force dengan demonstrasi di jalan. Meski kritikan dari masyarakat sering hanya menabrak angin, namun rakyat tetap peduli pada nasib bangsa ini di kemudian hari. Bahkan masyarakat sering menderita kekalahan ataupun kerugian dengan tidak mengizinkan atau tidak mentolerir korupsi, dan jumlah penentang korupsi ini semakin bertambah banyak, karena mereka sadar ada hal esensial yang patut diperjuangkan.

Kita menyadari bahwa tidak lagi relevan menangkal korupsi dengan isu moral yang berkenaan dengan rasa malu, dimana malu tidak lagi dimiliki oleh koruptor. Atau berharap pada para koruptor untuk mau mendengarkan suara hati kecilnya, yang selain kecil juga letaknya jauh di dalam, maka dapat dipastikan suara hati kecil “nyaris tak terdengar”. Sama halnya dengan agama, karena dipikirnya adalah urusan tanggung-jawab di hari kemudian; itupun bila mereka percaya akan hari akhir. Yang diharapkan pelaku korupsi saat ini adalah penghargaan atas kekayaan yang dimilikinya, sebagaimana masyarakat terbiasa menghargai seseorang dari harta yang dimiliknya, tanpa peduli darimana diperoleh. Namun kini masyarakat sudah menyadari bahwa korban utama tindakan korupsi adalah rakyat, bukan Negara. Kini mereka menyadari bahwa mustahil mempercayakan penuh kepada pemerintah dalam menanggulanginya.

Banyaknya kritikan yang dilepas masyarakat, membuktikan bahwa mereka tidak permisif pada korupsi. Ini agak berbeda dengan pendapat yang dikeluarkan Bapak Soetandyo Wignjosoebroto, seorang mantan dosen Universitas Airlangga Surabaya. Beliau mengatakan korupsi di Indonesia telah berurat berakar. Ia cenderung hidup dalam sikap bangsa yang cenderung permisif terhadap kelalaian dan kesalahan kecil.

Berkenaan dengan hal tersebut, saya coba bercermin diri dari pengalaman. Suatu ketika saya pernah berkendara melalui Jalan Pamekasan dan berbelok ke kiri masuk Jalan Sumenep, kemudian diberhentikan petugas lalu-lintas dengan alasan melanggar 3 in 1. Sambil menunjukkan peta Jakarta, saya berdebat tentang siapa yang benar hingga sejam lebih. Hasilnya, saya ditilang karena tiga pasal: pertama melanggar rambu, melanggar 3 in 1 dan melawan petugas. Surat tilang ini saya terima setelah saya menolak tawaran bebas dengan memberi sejumlah uang yang ditetapkan. Tentu saja saya memilih ditilang karena beranggapan uang yang saya berikan akan masuk kas negara. Pada waktu yang telah ditentukan untuk sidang perkara pelanggaran tersebut, ternyata berkas saya belum dilimpahkan ke pengadilan, artinya SIM saya masih dipegang oleh petugas. Kejadian ini tentu saja dapat membuat seseorang menjadi malas berurusan dengan penegak hukum yang mempermainkan rakyat.

Masih banyak lagi peristiwa yang kapasitasnya jauh lebih besar dan mampu membuat rakyat segan berurusan dengan orang yang memegang kekuasaan. Sikap takut akan menderita lebih banyak kerugian bila mereka mengkritik penguasa, tidak dapat dikatakan permisif atau memperbolehkan. Ini adalah sikap takluk dari seseorang yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan, seperti pepatah yang mengatakan “Kalau tak punya bedil di pinggang, lebih baik berpedang lapang”.

Cara melawan korupsi
Banyak solusi yang ditawarkan pakar-pakar “good governance” dalam memberangus korupsi. Namun ada empat hal mendasar yang perlu dimiliki, yaitu:

Pertama, Kemauan. Dengan kemauan yang kuat, niscaya akan ditemukan cara yang tepat dalam memberantas korupsi. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu bangsa, jika bangsa tersebut tidak merubahnya. Percayalah dimana ada kemauan di situ ada jalan.

Kedua, Penyebaran informasi. Berita mengenai perilaku tidak jujur, harus dapat menyebar dengan cepat, sehingga masyarakat dapat langsung mengontrol dan meminimalkan potensi yang dapat menutup-nutupi tindakan korupsi. Juga sebarkan terus menerus berita kepada masyarakat luas mengenai lembaga-lembaga pemerintah atau indipenden yang menampung dan menindak-lanjuti perkara korupsi, lengkap dengan alamat, telpon, e-mail, dan cara memberikan laporan.

Ketiga, Perlindungan saksi. Seperti pernah diberitakan rumah seorang pelapor dibakar, karena mengadukan dugaan korupsi bupati Garut (Agustus 2007). Atau berita mengenai pelapor dugaan tindak korupsi yang berbalik status menjadi terlapor. Ketiadaan jaminan atas rasa aman, membuat rakyat berpikir ulang atas iklan layanan masyarakat untuk “Lapor! Lawan Korupsi!”
Keempat, Menggoreng ikan besar. Lakukan shock therapy dengan menghukum koruptor kakap, bukan hanya kelas teri, apalagi tebang pilih. Jika presiden saja dapat kita berhentikan, apalagi pejabat korup.

Keempat, Pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan dari bawah, karena di bawah hanya berupa dampaknya. Sama halnya dengan derasnya air terjun yang bergantung dari mata air di atas. Perlu adanya korelasi antara pemerintah dengan rakyat. Penguasa boleh saja bilang bahwa kita yang dibawah dapat menempuh jalur azas kesamaan di mata hukum, untuk membalas mereka yang meludahi kita dari atas, tapi rakyat sendiri menyadari bahwa sulit untuk meludah ke atas.

Rakyat hanyalah tumpukan kayu bakar yang berlumur minyak tanah, namun tidak memiliki api.

Lanjutan..!

21 July 2007


KDRT DAN AKAD PERNIKAHAN

Dalam perjalanan menuju ke Pasar Baru, istriku berkomentar pada tabloid yang dibacanya mengenai kasus perceraian yang diajukan penyanyi dangdut Kristina Iswandari. Pedangdut ini menggugat cerai suami karena tidak tahan lantaran sering dianiaya suami.

“Tega banget! Istri kok dijadikan sarung sasak, cuma buat dijadikan sarana pelampiasan amarah”.

“Beraninya kok sama wanita? Bisanya Cuma menyakiti makhluk yang lemah” Istriku mencibir.


Seperti itulah kasus rumah tangga yang terekspose di media, yang kebetulan diwakili kalangan artis. Selalu berita yang ditonjolkan adalah wanita sebagai korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Mulai dari yang melapor polisi karena diperlakukan kasar oleh suami hingga banyak yang menggugat cerai.

MITOS

Wanita sebagai makhluk lemah adalah sebuah mitos yang sudah diyakini sejak lama, karena secara fisik, kondisi mereka dianggap lebih lemah bila dibandingkan dengan pria. Karena itu, diminta atau tidak, wanita cenderung dikasihani. Keyakinan ini demikian kuat, hingga saat pria duduk di dalam angkutan umum, akan dianggap tidak berperikemanusiaan, tidak berperasaan, tidak menghargai makhluk lemah, bila tidak memberi tempat duduknya kepada wanita yang berdiri.

Padahal yang katanya “Makhluk Lemah” ini begitu semangat dan menggebu berkeliling di Mall mencari dan menawar barang-barang yang dipajang, kendati si pria sudah sangat letih dan kelelahan menemani. Wanita justru lebih berstamina.

Banyak pria tak berdaya manakala digoda wanita dan tidak sedikit para pemimpin kita yang terperosok bertekuk lutut di hadapan wanita. Bahkan banyak contoh dari tokoh dan pemimpin besar di dunia jatuh gara-gara wanita.

TIDAK BERIMBANG

Dalam tabloid tersebut, terpampang gambar sang artis dengan muka lebam, sama halnya tayangan kriminal di TV yang sering menampilkan ibu muda dalam kondisi muka atau tubuh luka bekas dianiaya suami. Dengan adanya Komnas Perempuan, makin bertambah panjang daftar wanita yang jadi korban KDRT, karena 100% adalah wanita yang mengadu ke lembaga tersebut, bukan pria.

Bahkan perceraian atau poligami yang tanpa penganiayaanpun, seringkali dianggap sebagai bentuk KDRT. Seperti kasus AA Gym yang mendapat kecaman hingga hujatan dari banyak kalangan. Hasilnya, wanita dibela! Pria terpojok; tak ada Komnas Laki-laki!

Ketimpangan pemberitaan ini, mungkin juga kesalahan pria. Karena banyak terjadi konflik dalam rumah tangga, dimana pria yang jadi korban KDRT dan wanita sebagai pelakunya, tapi pria enggan melapor polisi, akibatnya pemberitaan semacam ini jarang terekspose. Bukankah banyak suami yang dipukul istrinya, dilempari benda keras, hingga pernah ada suami yang dipotong (maaf) kemaluannya oleh sang istri. Para pria malu jika melaporkan ke polisi, mengundang wartawan, apalagi menggugat cerai dengan alasan bahwa dirinya dianiaya wanita. Pria tak mungkin mengadukan nasibnya ke Komnas Perempuan.

KDRT & AKAD PERNIKAHAN

KDRT bukanlah KDIRT (Kekerasan yang Dialami Ibu Rumah Tangga), karena rumah tangga bukan hanya ada wanita. Disana ada pria sebagai suami dan juga ada anak-anak. Sayangnya kasus KDRT dipahami hanya sebagai konflik suami-istri, tidak melibatkan seluruh anggota keluarga. Kalau KDRT dipahami sebaliknya, maka ada banyak kasus kekerasan yang pelakunya adalah wanita. Kasus seorang ibu yang kejam dan sering menganiaya anaknya, kasus ibu yang membakar mati ketiga anaknya, kasus ibu yang membunuh bayinya dan masih banyak kekerasan lagi yang dilakukan wanita.

Kesimpulan dalam banyak kasus KDRT adalah bahwa pria dan wanita sama-sama berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Tidak dapat dikatakan bahwa pihak yang satu selalu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai pelaku ataupun korban, sama-sama tidak baiknya, sebab KDRT bukanlah gambaran dari keluarga yang harmonis dan penuh kasih. Kekerasan dalam rumah tangga perlu dihapuskan, tapi bukan dengan cara memojokkan salah satu pihak, melainkan dengan memberi informasi, pengarahan, bimbingan kepada siapa saja yang akan membentuk sebuah rumah tangga.

Pernikahan bukan hanya sekedar mengucap akad nikah ,tapi juga akad untuk membangun rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah, Akad untuk meninggalkan kemaksiatan, Akad untuk saling mencintai karena Allah, Akad untuk saling menghormati dan menghargai, Akad untuk saling menerima apa adanya, Akad untuk saling menguatkan keimanan, Akad untuk saling membantu dan meringankan beban, Akad untuk saling menasihati, Akad untuk setia kepada pasangannya dalam suka dan duka, dalam kefakiran dan kekayaan, dalam sakit dan sehat, Akad untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan, Akad untuk saling melindungi, Akad untuk saling memberikan rasa aman, Akad untuk saling mempercayai, Akad untuk saling menutupi aib, Akad untuk saling mencurahkan perasaan, Akad untuk berlomba menunaikan kewajiban, Akad untuk saling memaafkan kesalahan, Akad untuk tidak menyimpan dendam dan kemarahan, Akad untuk tidak mengungkit-ungkit kelemahan, kekurangan dan kesalahan, Akad untuk tidak melakukan pelanggaran, Akad untuk tidak saling menyakiti hati dan perasaan, Akad untuk tidak saling menyakiti badan, Akad untuk lembut dalam perkataan, Akad untuk santun dalam pergaulan, Akad untuk indah dalam penampilan, Akad untuk mesra dalam mengungkapkan keinginan, Akad untuk saling mengembangkan potensi diri, Akad untuk adanya saling keterbukaan yang melegakan, Akad untuk saling menumpahkan kasih sayang, Akad untuk saling merindukan, Akad untuk tidak adanya pemaksaan kehendak, Akad untuk tidak saling membiarkan, Akad untuk tidak saling meninggalkan, Akad untuk menebarkan kebajikan, Akad untuk mencetak generasi berkualitas, Akad untuk siap menjadi bapak dan ibu bagi anak-anak, Akad untuk membangun peradaban, Akad untuk segala yang bermakna kebaikan !

Semoga Berbahagia
Mugi Subagyo

Lanjutan..!

22 June 2007


Lomba Mengekspos Banjir

Intensitas banjir yang terus meningkat sejak 2 hingga 3 Februari 2007, mempunyai efek musibah yang menimpa masyarakat Jakarta dan kota-kota selingkungannya. Banjir yang diderita sebagian besar penduduk Jakarta ini dijadikan komoditi yang laku di pasaran media elektronik, khususnya televisi.

Ada kejadian menarik yang belakangan terjadi dari cara reporter-reporter pertelevisian tersebut dalam menyampaikan berita banjir.

Awalnya reporter banjir dari TV A mengabarkan kejadian banjir yang tampak di belakang sang reporter (sambil berendam di air hingga selutut), lalu TV B menyiarkan banjir di wilayah lain sambil membenamkan dirinya hingga sebatas perut, reporter lain lagi sambil sedikit gamang (karna air hampir melebihi batas dadanya) bercerita hebatnya banjir kali ini, bahkan ada reporter yang sambil berpegangan pada seutas tali memberitahukan melalui mikrofon di tangan satunya mengenai posisi dia berdiri yang tidak menyentuh dasar. Hebat kan??

Mungkin karena tidak semua stasiun TV dapat saya saksikan langsung secara bersamaan, saya tidak melihat bantuan berarti dari media televisi, kecuali evakuasi yang dilakukan oleh sebuah stasiun TV menggunakan mobil operasionalnya. Mereka hanya menanyakan para korban banjir tentang sudah dapat atau belum bantuan pemerintah yang dijanjikan. Sementara reporter radio-radio swasta yang saya pantau, benar-benar memberikan informasi yang sangat berguna dengan menginformasikan wilayah mana yang membutuhkan konsumsi, obat-obatan, lotion anti nyamuk, tenda darurat, hingga wilayah mana saja yang sudah cukup, hingga bantuan dapat di arahkan ke wilayah banjir lainnya.

Cara yang dilakukan para reporter radio tersebut sungguh sangat membantu saya dalam hal bantuan yang saya distribusikan, meski saya sendiri bertemu langsung dengan para korban banjir, namun memiliki kemampuan pemantauan yang jauh lebih rendah dibanding para reporter radio tersebut.

Satu hal yang jelas disini, rekan-rekan reporter televisi kita hanya mementingkan beritanya yang "wah" dengan lomba menemukan lokasi banjir dengan ketinggian air lebih tinggi. Mereka cenderung mengutamakan tanggung jawabnya sebagai reporter yang hanya sekedar mereport/melaporkan saja kejadian di sekitarnya, dan nurani atau kemanusiaannya kurang tersentuh untuk melakukan lebih.

Bantuan Pemerintah
Aneh juga melihat Pemda memberikan bantuan yang serba kurang persiapan juga keberanian. Coba saja lihat bila ada tim penolong yang berani melawan arus demi mengevakuasi, memberikan bantuan pangan untuk orang-orang yang terjebak banjir, tim tersebut pasti dari pihak swasta, misal Wanadri, Arus Liar, Mapala dll. Lalu lihat juga bantuan yang diberikan pihak swasta, baik masyarakat lingkungan sekitar banjir atau masyarakat lain, mereka memberikan bantuan yang lebih berarti, lebih tepat dan lebih berkelanjutan.

Jadi bantuan kecil (minor) dari pemerintah sebetulnya kurang tepat. Sebaiknya pemerintah mengurusi hal-hal yang lebih besar, misalkan mengurus banjir kanal, membuat bendungan-bendungan memperhatikan kelancaran arus air sungai. Bukan hal-hal sepele yang pasti dapat dilakukan masyarakat umum dengan lebih baik.

Semoga saja banjir ini segera berakhir, karena bukan hanya kerugian yang ditimbulkan banjir yang kita sesalkan, tapi yang lebih berat adalah bahwa sesungguhnya kita sudah mengetahui hal ini akan terjadi, namun kita hanya bisa pasrah menerimanya. Sebegitu sajakah bangsa yang besar ini?

Lanjutan..!

Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.