KITA BANGSA YANG PERMISIF PADA KORUPSI?
(Tanggapan atas tulisan Kompas, Sabtu, 22 Maret 2008 pada kolom “Pemberantasan Korupsi”)
Dunia orang lain diwarnai dengan nilai, sikap dan kepercayaannya sendiri, bukan milik saya atau milik kita. Sehingga saat kita mencoba masuk dalam kehidupannya dengan menghakimi nilai, sikap atau kepercayaannya tersebut, maka kecenderungan yang kita terima adalah penolakan untuk berubah, dan biasanya mereka justru menjadi semakin kental dengan pendapat dan perilakunya sendiri. Ini dapat kita lihat saat kita memberikan kritikan, baik dengan lisan, tulisan atau show force dengan demonstrasi di jalan. Meski kritikan dari masyarakat sering hanya menabrak angin, namun rakyat tetap peduli pada nasib bangsa ini di kemudian hari. Bahkan masyarakat sering menderita kekalahan ataupun kerugian dengan tidak mengizinkan atau tidak mentolerir korupsi, dan jumlah penentang korupsi ini semakin bertambah banyak, karena mereka sadar ada hal esensial yang patut diperjuangkan.
Kita menyadari bahwa tidak lagi relevan menangkal korupsi dengan isu moral yang berkenaan dengan rasa malu, dimana malu tidak lagi dimiliki oleh koruptor. Atau berharap pada para koruptor untuk mau mendengarkan suara hati kecilnya, yang selain kecil juga letaknya jauh di dalam, maka dapat dipastikan suara hati kecil “nyaris tak terdengar”. Sama halnya dengan agama, karena dipikirnya adalah urusan tanggung-jawab di hari kemudian; itupun bila mereka percaya akan hari akhir. Yang diharapkan pelaku korupsi saat ini adalah penghargaan atas kekayaan yang dimilikinya, sebagaimana masyarakat terbiasa menghargai seseorang dari harta yang dimiliknya, tanpa peduli darimana diperoleh. Namun kini masyarakat sudah menyadari bahwa korban utama tindakan korupsi adalah rakyat, bukan Negara. Kini mereka menyadari bahwa mustahil mempercayakan penuh kepada pemerintah dalam menanggulanginya.
Banyaknya kritikan yang dilepas masyarakat, membuktikan bahwa mereka tidak permisif pada korupsi. Ini agak berbeda dengan pendapat yang dikeluarkan Bapak Soetandyo Wignjosoebroto, seorang mantan dosen Universitas Airlangga Surabaya. Beliau mengatakan korupsi di Indonesia telah berurat berakar. Ia cenderung hidup dalam sikap bangsa yang cenderung permisif terhadap kelalaian dan kesalahan kecil.
Berkenaan dengan hal tersebut, saya coba bercermin diri dari pengalaman. Suatu ketika saya pernah berkendara melalui Jalan Pamekasan dan berbelok ke kiri masuk Jalan Sumenep, kemudian diberhentikan petugas lalu-lintas dengan alasan melanggar 3 in 1. Sambil menunjukkan peta Jakarta, saya berdebat tentang siapa yang benar hingga sejam lebih. Hasilnya, saya ditilang karena tiga pasal: pertama melanggar rambu, melanggar 3 in 1 dan melawan petugas. Surat tilang ini saya terima setelah saya menolak tawaran bebas dengan memberi sejumlah uang yang ditetapkan. Tentu saja saya memilih ditilang karena beranggapan uang yang saya berikan akan masuk kas negara. Pada waktu yang telah ditentukan untuk sidang perkara pelanggaran tersebut, ternyata berkas saya belum dilimpahkan ke pengadilan, artinya SIM saya masih dipegang oleh petugas. Kejadian ini tentu saja dapat membuat seseorang menjadi malas berurusan dengan penegak hukum yang mempermainkan rakyat.
Masih banyak lagi peristiwa yang kapasitasnya jauh lebih besar dan mampu membuat rakyat segan berurusan dengan orang yang memegang kekuasaan. Sikap takut akan menderita lebih banyak kerugian bila mereka mengkritik penguasa, tidak dapat dikatakan permisif atau memperbolehkan. Ini adalah sikap takluk dari seseorang yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan, seperti pepatah yang mengatakan “Kalau tak punya bedil di pinggang, lebih baik berpedang lapang”.
Cara melawan korupsi
Banyak solusi yang ditawarkan pakar-pakar “good governance” dalam memberangus korupsi. Namun ada empat hal mendasar yang perlu dimiliki, yaitu:
Pertama, Kemauan. Dengan kemauan yang kuat, niscaya akan ditemukan cara yang tepat dalam memberantas korupsi. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu bangsa, jika bangsa tersebut tidak merubahnya. Percayalah dimana ada kemauan di situ ada jalan.
Kedua, Penyebaran informasi. Berita mengenai perilaku tidak jujur, harus dapat menyebar dengan cepat, sehingga masyarakat dapat langsung mengontrol dan meminimalkan potensi yang dapat menutup-nutupi tindakan korupsi. Juga sebarkan terus menerus berita kepada masyarakat luas mengenai lembaga-lembaga pemerintah atau indipenden yang menampung dan menindak-lanjuti perkara korupsi, lengkap dengan alamat, telpon, e-mail, dan cara memberikan laporan.
Ketiga, Perlindungan saksi. Seperti pernah diberitakan rumah seorang pelapor dibakar, karena mengadukan dugaan korupsi bupati Garut (Agustus 2007). Atau berita mengenai pelapor dugaan tindak korupsi yang berbalik status menjadi terlapor. Ketiadaan jaminan atas rasa aman, membuat rakyat berpikir ulang atas iklan layanan masyarakat untuk “Lapor! Lawan Korupsi!”
Keempat, Menggoreng ikan besar. Lakukan shock therapy dengan menghukum koruptor kakap, bukan hanya kelas teri, apalagi tebang pilih. Jika presiden saja dapat kita berhentikan, apalagi pejabat korup.
Keempat, Pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan dari bawah, karena di bawah hanya berupa dampaknya. Sama halnya dengan derasnya air terjun yang bergantung dari mata air di atas. Perlu adanya korelasi antara pemerintah dengan rakyat. Penguasa boleh saja bilang bahwa kita yang dibawah dapat menempuh jalur azas kesamaan di mata hukum, untuk membalas mereka yang meludahi kita dari atas, tapi rakyat sendiri menyadari bahwa sulit untuk meludah ke atas.
Rakyat hanyalah tumpukan kayu bakar yang berlumur minyak tanah, namun tidak memiliki api.
Dunia orang lain diwarnai dengan nilai, sikap dan kepercayaannya sendiri, bukan milik saya atau milik kita. Sehingga saat kita mencoba masuk dalam kehidupannya dengan menghakimi nilai, sikap atau kepercayaannya tersebut, maka kecenderungan yang kita terima adalah penolakan untuk berubah, dan biasanya mereka justru menjadi semakin kental dengan pendapat dan perilakunya sendiri. Ini dapat kita lihat saat kita memberikan kritikan, baik dengan lisan, tulisan atau show force dengan demonstrasi di jalan. Meski kritikan dari masyarakat sering hanya menabrak angin, namun rakyat tetap peduli pada nasib bangsa ini di kemudian hari. Bahkan masyarakat sering menderita kekalahan ataupun kerugian dengan tidak mengizinkan atau tidak mentolerir korupsi, dan jumlah penentang korupsi ini semakin bertambah banyak, karena mereka sadar ada hal esensial yang patut diperjuangkan.
Kita menyadari bahwa tidak lagi relevan menangkal korupsi dengan isu moral yang berkenaan dengan rasa malu, dimana malu tidak lagi dimiliki oleh koruptor. Atau berharap pada para koruptor untuk mau mendengarkan suara hati kecilnya, yang selain kecil juga letaknya jauh di dalam, maka dapat dipastikan suara hati kecil “nyaris tak terdengar”. Sama halnya dengan agama, karena dipikirnya adalah urusan tanggung-jawab di hari kemudian; itupun bila mereka percaya akan hari akhir. Yang diharapkan pelaku korupsi saat ini adalah penghargaan atas kekayaan yang dimilikinya, sebagaimana masyarakat terbiasa menghargai seseorang dari harta yang dimiliknya, tanpa peduli darimana diperoleh. Namun kini masyarakat sudah menyadari bahwa korban utama tindakan korupsi adalah rakyat, bukan Negara. Kini mereka menyadari bahwa mustahil mempercayakan penuh kepada pemerintah dalam menanggulanginya.
Banyaknya kritikan yang dilepas masyarakat, membuktikan bahwa mereka tidak permisif pada korupsi. Ini agak berbeda dengan pendapat yang dikeluarkan Bapak Soetandyo Wignjosoebroto, seorang mantan dosen Universitas Airlangga Surabaya. Beliau mengatakan korupsi di Indonesia telah berurat berakar. Ia cenderung hidup dalam sikap bangsa yang cenderung permisif terhadap kelalaian dan kesalahan kecil.
Berkenaan dengan hal tersebut, saya coba bercermin diri dari pengalaman. Suatu ketika saya pernah berkendara melalui Jalan Pamekasan dan berbelok ke kiri masuk Jalan Sumenep, kemudian diberhentikan petugas lalu-lintas dengan alasan melanggar 3 in 1. Sambil menunjukkan peta Jakarta, saya berdebat tentang siapa yang benar hingga sejam lebih. Hasilnya, saya ditilang karena tiga pasal: pertama melanggar rambu, melanggar 3 in 1 dan melawan petugas. Surat tilang ini saya terima setelah saya menolak tawaran bebas dengan memberi sejumlah uang yang ditetapkan. Tentu saja saya memilih ditilang karena beranggapan uang yang saya berikan akan masuk kas negara. Pada waktu yang telah ditentukan untuk sidang perkara pelanggaran tersebut, ternyata berkas saya belum dilimpahkan ke pengadilan, artinya SIM saya masih dipegang oleh petugas. Kejadian ini tentu saja dapat membuat seseorang menjadi malas berurusan dengan penegak hukum yang mempermainkan rakyat.
Masih banyak lagi peristiwa yang kapasitasnya jauh lebih besar dan mampu membuat rakyat segan berurusan dengan orang yang memegang kekuasaan. Sikap takut akan menderita lebih banyak kerugian bila mereka mengkritik penguasa, tidak dapat dikatakan permisif atau memperbolehkan. Ini adalah sikap takluk dari seseorang yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan, seperti pepatah yang mengatakan “Kalau tak punya bedil di pinggang, lebih baik berpedang lapang”.
Cara melawan korupsi
Banyak solusi yang ditawarkan pakar-pakar “good governance” dalam memberangus korupsi. Namun ada empat hal mendasar yang perlu dimiliki, yaitu:
Pertama, Kemauan. Dengan kemauan yang kuat, niscaya akan ditemukan cara yang tepat dalam memberantas korupsi. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu bangsa, jika bangsa tersebut tidak merubahnya. Percayalah dimana ada kemauan di situ ada jalan.
Kedua, Penyebaran informasi. Berita mengenai perilaku tidak jujur, harus dapat menyebar dengan cepat, sehingga masyarakat dapat langsung mengontrol dan meminimalkan potensi yang dapat menutup-nutupi tindakan korupsi. Juga sebarkan terus menerus berita kepada masyarakat luas mengenai lembaga-lembaga pemerintah atau indipenden yang menampung dan menindak-lanjuti perkara korupsi, lengkap dengan alamat, telpon, e-mail, dan cara memberikan laporan.
Ketiga, Perlindungan saksi. Seperti pernah diberitakan rumah seorang pelapor dibakar, karena mengadukan dugaan korupsi bupati Garut (Agustus 2007). Atau berita mengenai pelapor dugaan tindak korupsi yang berbalik status menjadi terlapor. Ketiadaan jaminan atas rasa aman, membuat rakyat berpikir ulang atas iklan layanan masyarakat untuk “Lapor! Lawan Korupsi!”
Keempat, Menggoreng ikan besar. Lakukan shock therapy dengan menghukum koruptor kakap, bukan hanya kelas teri, apalagi tebang pilih. Jika presiden saja dapat kita berhentikan, apalagi pejabat korup.
Keempat, Pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan dari bawah, karena di bawah hanya berupa dampaknya. Sama halnya dengan derasnya air terjun yang bergantung dari mata air di atas. Perlu adanya korelasi antara pemerintah dengan rakyat. Penguasa boleh saja bilang bahwa kita yang dibawah dapat menempuh jalur azas kesamaan di mata hukum, untuk membalas mereka yang meludahi kita dari atas, tapi rakyat sendiri menyadari bahwa sulit untuk meludah ke atas.
Rakyat hanyalah tumpukan kayu bakar yang berlumur minyak tanah, namun tidak memiliki api.
1 Comments:
Tuh kan, blogspot memang gak user friendly drtd gw nyari-nyari form buat buat post comment tp gak nemu2, taunya di window baru.
Makanya gw lbh suka pake multiply, click aja di http://itawidiastanti.multiply.com/
btw soal tanah air, ada kabar paling lucu plus menggelikan, tenatang gembok CD di Panti Pijat, I feel like governs by some idiots. nih gw tulis artikel yg belakangan beredar di Internet.
Jumat, 4 April 2008 | 08:41 WIB
JAKARTA, JUMAT-Dinas Pariwisata DKI tengah mempertimbangkan untuk melakukan ketentuan menggembok celana dalam (CD) maupun rok cewek pekerja panti pijat. Cara ini dipandang bisa menghapus citra buruk panti pijat sebagai sarang esek-esek atau ajang bisnis prostitusi terselubung.
Kewajiban menggembok CD maupun rok cewek pemijat di panti pijat sudah diberlakukan di Kota Batu, Jawa timur. Bukan tak mungkin, dalam waktu dekat Pemprov DKI mengadopsi ketentuan ini.
Kepala Subdinas Penelitian dan Pengembangan Dinas Pariwisata DKI, Made Karya, mengatakan langkah Pemkot Batu menerapkan aturan menggembok celana dalam cewek pemijat akan dijadikan masukan. Dinas Pariwisata DKI, dalam waktu dekat, akan menjajaki kemungkinan kebijakan Pemkot Batu itu diadopsi di Jakarta.
"Kebijakan Pemkot Batu tersebut menarik. Upaya seperti yang dilakukan Pemkot Batu perlu pembahasan khusus. Kalau ini memang jalan terbaik kenapa tidak dilakukan," ujar Made Karya saat dihubungi Warta Kota, Kamis (3/4) malam.
Menyimpang
Sementar itu, Made Karya mengakui sejumlah panti pijat di Jakarta menjalankan praktek esek-esek di balik kedok pijat kebugaran. Hal ini, katanya, membawa imbas bagi panti-panti yang murni menjalakankan bisnis pijat kesehatan karena ikut dicap melakukan praktik esek-esek.
"Bentuk penyimpangan ini sebenarnya lebih disebabkan faktor nurani para pekerja dan tamu panti tersebut. Kalau nurani mereka bagus, tentu tidak akan melakukan praktik menyimpang," tutur Made.
Menurut berbagai aturan, sebenarnya telah dikeluarkan Pemprov DKI untuk mencegah hal itu. "Mungkin karena keterbatasan personel, pengawasan dan penegakan aturannya menjadi tidak maksimal," paparnya.
Dia mengatakan, ide menggembok celana dalam dan rok para pemijat bisa menjadi jawaban untuk mengeatasi praktik esek-esek. "Seperti penggunaan mesin absen sidik jari di kantor-kantor pemerintahan, hal ini terbukti bisa mengurangi tindakan membolos," katanya.
Made menuturkan, jika penggunaan gembok sukses diberlakukan di Kota Batu, tidak tertutup kemungkinan kebijakan tersebut akan diikuti Pemprov DKIT. "Atau kalau perlu dicari formula lainnya. Bisa dengan alat lain yang esensinya bisa mengurangi penyimpangan fungsi panti pijat," katanya.
Oleh karena itu, kata Made, pihaknya akan segera membahas lebih lanjut wacana memasang gembok bagi cewek pemijat tersebut. (Warta Kota/Tos)
nah Mugi, gimana komentar lo? Topicnya masih related kan, tentang tanah air juga.
Post a Comment
<< Home