Agar UN Jadi Dambaan
Tindakan pembocoran atau kecurangan dalam pelaksanaan UN (ujian nasional) sebetulnya sudah dapat dipastikan dan tidak lagi menjadi sebuah prediksi. Sehingga kasus yang terjadi (Rabu, 23/4/2008) di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, bukanlah berita mengejutkan. Kalaupun berita tersebut menjadi heboh, hal ini lebih ditekankan pada keterkaitan anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisisan Daerah Sumatera Utara yang melakukan penggerebekan dengan membuka paksa sebuah ruangan dan memergoki para guru yang membetulkan lembar jawaban siswa peserta UN. Sehingga memicu komentar dari dunia pendidikan, bahwa tindakan tersebut terlalu berlebihan, mengingat sudah ada tim pengawas independen. Sebetulnya kecurangan tersebut banyak terjadi di berbagai wilayah, hanya saja berupa letupan kecil, sehingga sinarnya tidak cukup menyilaukan seperti ledakan kasus yang terjadi di SMAN 2 Lubuk Pakam ini.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan berpegang pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek lain, pemerintah menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa. Artinya siswa setanah-air wajib mengikuti UN yang dibuat dengan standard kompetensi yang diciptakan sendiri oleh pemerintah. Para penguasa tersebut merasa yakin, karena kurikulum yang dibuat untuk seluruh sekolah adalah sama. Namun, apakah tepat jika tingkat kesulitan pengerjaan soal dibuat sama, sedangkan sarana dan prasarana tiap-tiap sekolah dalam satu daerah saja bisa jauh berbeda? Apalagi jika membandingkan sekolah elit di Jakarta dengan sekolah yang nun jauh di sana.
Meski rata-rata sekolah di Jakarta sudah cukup baik, faktor pendukung lain juga turut menentukan tingkat keberhasilan pendidikan di sekolah. Di Jakarta sendiri, tidak semua sekolah memiliki laboratorium komputer dan internet, lab fisika, lab kimia; belum lagi bimbingan belajar di luar sekolah yang hanya terdapat di kota-kota besar. Tingkat pendidikan para pengajar di tiap sekolah juga berbeda, ada yang sarjana, master bahkan diploma, yang juga berpengaruh pada cara mereka mengajar. Bagaimana nasib siswa yang bersekolah di suatu wilayah yang serba kekurangan aspek pendukung tersebut? Atau meskipun ada, apakah orangtuanya tergolong mampu mengeluarkan biaya tambahan untuk anaknya mengikuti les di luar sekolah? Tak perlulah kiranya saya ceritakan perihal siswa yang harus menempuh beberapa kilometer dengan berjalan kaki.
Dengan memberikan keadilan yang merata, justru akan tercipta ketidak-adilan. Tidak ada satupun perusahaan yang menggaji karyawan dengan jumlah yang sama. Semua dibedakan berdasarkan tanggung jawab dan wewenangnya. Jadi dapat dikatakan, keputusan pemerintah untuk memaksakan UN sebagai syarat kelulusan adalah sebuah ketidak-adilan. Mengapa? Karena mengharapkan bayi-bayi sehat dengan memberikan gizi yang berbeda (bahkan beberapa bayi dibiarkan terlantar).
Menetapkan bantuan
Untuk meningkatkan hardskill atau softskill, banyak perusahaan memberikan pendidikan pada karyawannya dengan training, pelatihan atau seminar yang diadakan lembaga-lembaga khusus dengan maksud menciptakan personal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal ini menguntungkan karyawan, selain keterampilannya meningkat, kejiwaan merekapun menjadi lebih baik karena diperhatikan perusahaan. Performa kerja mereka menjadi lebih baik lagi, dan ujungnya dapat meningkatkan profit perusahaan. Namun pemberian training tersebut tidak hanya didasarkan pada kesukaan terhadap karyawan tertentu atau sekedar dijadikan selingan.
Pemberian training dapat dilakukan dengan melihat pada job description dan competencies pada masing-masing seksi atau bagian sampai departemen. Dengan hasil kompetensi tersebut, maka dapat ditentukan siapa saja yang berhak diberikan pelatihan sesuai dengan porsi pekerjaan untuk meningkatkan keterampilannya.
Agar UN jadi dambaan
Agar lebih tepat sasaran, UN tidak perlu dihapuskan, namun fungsinya digeser, tidak sebagai penentu kelulusan siswa, namun menjadi barometer kompetensi sekolah di tiap-tiap daerah. Sehingga setelah dilakukan UN, pemerintah dapat mengevaluasi daerah mana saja yang perlu segera diberikan bantuan untuk meningkatkan kompetensi pendidikannya. Dengan begitu, dapat diketahui di daerah X misalnya, perlu diberikan bantuan buku-buku atau jika boleh bermuluk-ria, dibuatkan laboratorium seperti lab fisika, kimia, komputer bahkan mungkin keringanan biaya sekolah bagi siswa kurang mampu. Kalau tidak boleh bermimpi, setidaknya tidak ada lagi atap sekolah yang bocor atau kondisi lain yang memaksa siswa harus belajar di luar sekolah.
Jika hal ini dilakukan, maka kemungkinan kecurangan untuk mendapat nilai bagus akan nol, karena jika mereka memaksakan demi nilai bagus, maka hasil kompetensi akan tinggi, dan mereka tidak patut mendapat bantuan (hal ini tentu bertentangan dengan usaha mereka yang terus-menerus memohon bantuan ke pusat).
Hingga suatu saat kelak, dimana nilai kompetensi seluruh daerah nyaris sama, maka pemerintah dapat menetapkan UN sebagai syarat kelulusan siswa. Untuk saat ini, cukuplah masing-masing daerah membuat sendiri standard kelulusan siswanya. Pemerintah cukup mengawasi dan menyebarkan informasi hasil evaluasi kompetensi dari masing-masing daerah. Sehingga saat perusahaan bermaksud menerima siswa lulusan suatu daerah untuk bekerja sebagai karyawannya, mereka dapat mengukur bahwa nilai 6 di daerah X (daerah dengan kompetensi rendah) sama dengan nilai 9 di Jakarta (mungkin daerah dengan kompetensi tertinggi).
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan berpegang pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek lain, pemerintah menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa. Artinya siswa setanah-air wajib mengikuti UN yang dibuat dengan standard kompetensi yang diciptakan sendiri oleh pemerintah. Para penguasa tersebut merasa yakin, karena kurikulum yang dibuat untuk seluruh sekolah adalah sama. Namun, apakah tepat jika tingkat kesulitan pengerjaan soal dibuat sama, sedangkan sarana dan prasarana tiap-tiap sekolah dalam satu daerah saja bisa jauh berbeda? Apalagi jika membandingkan sekolah elit di Jakarta dengan sekolah yang nun jauh di sana.
Meski rata-rata sekolah di Jakarta sudah cukup baik, faktor pendukung lain juga turut menentukan tingkat keberhasilan pendidikan di sekolah. Di Jakarta sendiri, tidak semua sekolah memiliki laboratorium komputer dan internet, lab fisika, lab kimia; belum lagi bimbingan belajar di luar sekolah yang hanya terdapat di kota-kota besar. Tingkat pendidikan para pengajar di tiap sekolah juga berbeda, ada yang sarjana, master bahkan diploma, yang juga berpengaruh pada cara mereka mengajar. Bagaimana nasib siswa yang bersekolah di suatu wilayah yang serba kekurangan aspek pendukung tersebut? Atau meskipun ada, apakah orangtuanya tergolong mampu mengeluarkan biaya tambahan untuk anaknya mengikuti les di luar sekolah? Tak perlulah kiranya saya ceritakan perihal siswa yang harus menempuh beberapa kilometer dengan berjalan kaki.
Dengan memberikan keadilan yang merata, justru akan tercipta ketidak-adilan. Tidak ada satupun perusahaan yang menggaji karyawan dengan jumlah yang sama. Semua dibedakan berdasarkan tanggung jawab dan wewenangnya. Jadi dapat dikatakan, keputusan pemerintah untuk memaksakan UN sebagai syarat kelulusan adalah sebuah ketidak-adilan. Mengapa? Karena mengharapkan bayi-bayi sehat dengan memberikan gizi yang berbeda (bahkan beberapa bayi dibiarkan terlantar).
Menetapkan bantuan
Untuk meningkatkan hardskill atau softskill, banyak perusahaan memberikan pendidikan pada karyawannya dengan training, pelatihan atau seminar yang diadakan lembaga-lembaga khusus dengan maksud menciptakan personal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal ini menguntungkan karyawan, selain keterampilannya meningkat, kejiwaan merekapun menjadi lebih baik karena diperhatikan perusahaan. Performa kerja mereka menjadi lebih baik lagi, dan ujungnya dapat meningkatkan profit perusahaan. Namun pemberian training tersebut tidak hanya didasarkan pada kesukaan terhadap karyawan tertentu atau sekedar dijadikan selingan.
Pemberian training dapat dilakukan dengan melihat pada job description dan competencies pada masing-masing seksi atau bagian sampai departemen. Dengan hasil kompetensi tersebut, maka dapat ditentukan siapa saja yang berhak diberikan pelatihan sesuai dengan porsi pekerjaan untuk meningkatkan keterampilannya.
Agar UN jadi dambaan
Agar lebih tepat sasaran, UN tidak perlu dihapuskan, namun fungsinya digeser, tidak sebagai penentu kelulusan siswa, namun menjadi barometer kompetensi sekolah di tiap-tiap daerah. Sehingga setelah dilakukan UN, pemerintah dapat mengevaluasi daerah mana saja yang perlu segera diberikan bantuan untuk meningkatkan kompetensi pendidikannya. Dengan begitu, dapat diketahui di daerah X misalnya, perlu diberikan bantuan buku-buku atau jika boleh bermuluk-ria, dibuatkan laboratorium seperti lab fisika, kimia, komputer bahkan mungkin keringanan biaya sekolah bagi siswa kurang mampu. Kalau tidak boleh bermimpi, setidaknya tidak ada lagi atap sekolah yang bocor atau kondisi lain yang memaksa siswa harus belajar di luar sekolah.
Jika hal ini dilakukan, maka kemungkinan kecurangan untuk mendapat nilai bagus akan nol, karena jika mereka memaksakan demi nilai bagus, maka hasil kompetensi akan tinggi, dan mereka tidak patut mendapat bantuan (hal ini tentu bertentangan dengan usaha mereka yang terus-menerus memohon bantuan ke pusat).
Hingga suatu saat kelak, dimana nilai kompetensi seluruh daerah nyaris sama, maka pemerintah dapat menetapkan UN sebagai syarat kelulusan siswa. Untuk saat ini, cukuplah masing-masing daerah membuat sendiri standard kelulusan siswanya. Pemerintah cukup mengawasi dan menyebarkan informasi hasil evaluasi kompetensi dari masing-masing daerah. Sehingga saat perusahaan bermaksud menerima siswa lulusan suatu daerah untuk bekerja sebagai karyawannya, mereka dapat mengukur bahwa nilai 6 di daerah X (daerah dengan kompetensi rendah) sama dengan nilai 9 di Jakarta (mungkin daerah dengan kompetensi tertinggi).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home